Tuesday, 4 December 2012

Alasan Mengapa Aku Tidak Mau Menjadi Guru

"Gurunya belum ngajarin, Bu."
"Gurunya cuti hamil"

Itulah kata-kata yang sering terlontar dari mulutku dan teman-temanku dulu.
Kami selalu menyalahkan guru. Ya, guru. Sosok yang menjadi panutan dan ditiru oleh murid.

Sejenak aku mengingat tentang profesiku kelak.
GURU!!!
 Ya, guru.
Dari tanganku kelak akan lahir banyak orang sukses atau akan lahir pemimpin dunia atau dokter yang adalah cita-citaku dulu.
Namun, dari tanganku juga akan lahir sosok penipu atau penghancur bangsa kelak.

Aku ingat, kata salah seorang dosenku, "Guru akan melahirkan orang baik dan juga penipu, karena ketika guru salah dalam mengajarkan, maka guru tersebut sudah membohongi muridnya yang akan menjadi turun temurun."

Guru memiliki peran yang sangat penting. Guru bisa membuat seseorang menjadi jauh lebih baik atau menjadi jauh lebih hancur.

Guru, guru, ya, guru, sosok yang sangat penting dalam dunia ini. Tanpanya, apalah jadinya dunia ini.

Peran guru yang sangat besar. Tanggung jawab guru yang sangat besar, itulah yang sangat berat. Itulah yang tidak bisa kujalankan.
Sejenak, mengingat kelakuanku pada guruku, terutama ketika SMA, ketika seorang guru menangis keluar dari kelasku, ketika seorang guru berkata "amit-amit" ketika bertengkar denganku, ketika itu aku khawatir.

Akan menjadi guru seperti apa aku kelak? 
Pertanyaan yang selalu muncul dalam benakku.

Aku selalu haus akan materi, aku benci ketika seorang guru tidak mengajarkan sebuah materi padaku, ketika seorang guru melewati materi yang beliau anggap mudah atau karena beliau tidak mengerti. Aku benci saat-saat seperti itu.

Inilah mengapa aku takut menjadi seorang guru. Aku selalu introspeksi pada diriku, aku selalu haus akan materi baru, bagaimana jika muridku akan seperti diriku? Haus akan materi. Bagaimana jika kelak aku tidak bisa menjawab materi yang ditanyakan itu?

"Guru tidak harus tahu tentang semua, tetapi guru harus tahu apa yang dia tidak tahu."

Itulah yang selalu kuingat. Perkataan dosenku di kampus tercintaku.
Sebuah pernyataan yang menjawab pertanyaanku selama ini. Ya, aku harus tahu apa yang tidak aku bisa dan mencari cara bagaimana untuk memcahkan masalah itu.

Aku teringat dengan salah satu mantan muridku yang berasal dari sekolah Khatolik ternama di Jakarta. Kala itu, dia bertanya tentang materi yang tidak aku kuasai, bahkan aku sudah bertanya pada teman sekelasku dan mereka semua menyerah tanpa syarat. Ini salah siapa?

Bagaimana kelak jika hal ini terulang kembali, apa yang harus aku lakukan?
Ketika hal itu terulang kembali, aku pasti akan merasa tidak pantas menjadi seorang guru, menjadi sumber ilmu bagi muridku. 

Inilah yang membuat aku selalu ragu menjadi seorang guru, satu hal lagi, ketika aku lebih memilih mengundurkan diri daripada mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan jati diriku.

Sejak dulu, aku suka sekali dengan fashion, bagaimana mungkin jika aku harus menggunakan pakaian sebagaimana seorang guru yang  sesungguhnya? Aku bahkan lebih memilih cara berpakaianku daripada pekerjaanku.

Entahlah, aku rasa, aku memang tidak pantas menjadi seorang guru. Aku tidak suka. Aku benci itu.  

No comments:

Post a Comment