Saturday, 5 January 2013

You Break My Heart, My Lovely UPM

04 Januari 2013

Kisah ini berawal dari bentroknya jadwal UPM dengan UAS praktik di dua kampus gue.

UPM atau ujian negara adalah ujian  paling mengerikan di kampus pertama gue. Gue mengatakan hal ini tentu sangat beralasan. Alasannya adalah karena tidak ada susulan kalau mahasiswa tidak mengikuti ujian yang satu ini. Peraturan. Namun, peraturan dibuat tentu untuk dilanggar. Teman gue bisa mengikuti UPM susulan. Hanya dirinya sendiri dan pagi-pagi. 

Mengapa ia susulan? Karena ketika UPM berlangsung, dia terjebak di dalam kemacetan akibat demo besar-besaran dari para buruh.

UAS praktik. Jangankan UAS praktik, UAS tertulis saja tidak ada susulan. Gue mengerti sekali akan ketatnya peraturan di kampus kedua gue ini. Maklum saja, kampus gue ini di bawah naungan kementrian. Betapa bahagianya gue ketika gue diterima di kampus ini, so gue selalu berusaha untuk menjaga segala sesuatunya demi tercapainya cita-cita gue, DIRJEN PAJAK dan DIRJEN IKM

Selain itu, gue juga masih memiliki cita-cita, yakni menjadi pengganti Bapak Dahlan Iskan, Mentri BUMN yang adalah idola dan tokoh yang menginspirasi gue. STOP! Ini bukan saatnya untuk membahas cita-cita.

Berbekal pengalaman teman gue yang diperbolehkan UPM susulan, gue beruaha mencoba untuk meminta dispensasi. Entah itu UPM duluan atau UPM susulan.

Rencana pun gue susun sedemikian rupa.

Malamnya...
Seperti ingin menembak gebetan. Ya, seperti itulah rasanya. 
Gue mencoba menyusun kata untuk membuat janji bertemu dengan petinggi kampus yang gue juga enggak kenal.

Mungkin, kalau dalam percintaan, rasanya seperti :
"Ehm... sudah lama aku suka sama kamu. Sudah lama juga kita saling mengenal. Entah mengapa  ada yang lain dari hati ini, ada sesuatu yang mengganjal. Aku mencintaimu" 

Bukan... tentu gue tidak melakukan hal seperti itu. Ini hanya analogi jika posisi gue sedang dalam kondisi percintaan.

Keesokan paginya...
Lantas, kami pun bertemu. Setelah menyampaikan niat baik, gue pun ditolak dengan alasan yang gue tahu itulah risiko gue. Itulah yang harus gue tanggung. Itulah itulah dan itulah.

Rasanya bagaikan :
"Maaf, aku tidak bisa diduakan. Kamu pilih saja salah satu, mana yang menurut kamu jauh lebih memiliki risiko. Dia. Dia selalu bersamamu, selalu ada di sampingmu. Sementara aku? Kita baru saja saling kenal."

Dengan persaan kecewa, gue pun meninggalkan dirinya. Derai air mata membanjiri pipiku sedari aku menyatakan maksudku padanya.

Yap, gue pun memilih UAS praktik dibandingkan UPM. Berat memang, tapi apa  boleh buat. UAS ini, belajarnya lama sekali. Bayangkan, 1  sks itu 120 menit dan mata kuliah ini 3 sks.

Lantas bagaimana dengan UPM? 2 mata kuliah dengan masing-masing 3 sks. 1 sksnya  itu 50 menit. Sama saja sih, seimbang.

Kalau gue tidak ikut UAS, kemungkinan gue di DO karena mendapat nilai E. Kemugkinan lain, dosen memberi nilai D, tapi itu sangat berpengaruh pada IP dan jumlah sks yang akan diambil di  semester depan serta mata kuliah yang mengharuskan mata kuliah ini lulus sebagai prasyaratnya.

Sama dengan UPM, gue sempat bertanya,  apakah kalau gue mengulang UPM, UPM ini dengan UPM semester berikutnya ada kemungkinan bentrok? Dan tahu apa jawabnnya? ADA.

Yap, ini  membuat gue sedikit berfikir. Apakah ini semester terakhir gue di kampus ini? Kampus  yang sudah membawa gue pada kampus yang gue inginkan? 

Entahlan. Satu-satunya alasan gue bertahan pun sudah tidak peduli dengan gue, lantas apa gue masih akan terus bertahan?

Sesuatu yang kita pertahankan, belum tentu mempertahankan kita, jangan pernah jadikan seseorang atau sesuatu sebagai alasanmu untuk bertahan, karena  belum tentu ia mempetahankanmu seperti kamu bertahan demi dirinya.

Semoga saja usul Pak Teno ditolak sehingga gue masih bisa meneruskan kuliah. AMIN....